Senin, 24 Mei 2010

memprogram otak yang salah



memprogram otak yang salah

Dalam NLP ada suatu filter pikiran yang disebut sebagai Metaprogram Toward-Avoidance. Maksudnya adalah, seorang manusia normal akan mengejar kenikmatan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain). Oleh Anthony Robbins konsep ini dipopulerkan dengan istilah PPP (Pain pleasure principle) dan dikemas dalam ilmu Neuro Association Conditioning,
Manusia akan menghindari penderitaan contohnya apabila terasa panas di perjalanan maka dia minggir menghindari panasnya matahari ke tempat teduh. Jika haus, akan minum, jika muncul rasa lapar maka dia akan menghindari rasa lapar itu dan makan. Di sekolah atau di kantor, suatu peraturan biasanya diberikan sangsi jika dilanggar agar orang mentaatinya, jadi peraturan bisa jalan karena orang menghindari dihukum.
Kenapa orang mentaati rambu lalu lintas? Karena ia menghindari pain, jika tidak mentaati khususnya di situ ada polisi maka dia akan ditilang. Ditilang berarti bakal keluar uang dan urusan akan menjadi panjang. Oleh karena itu manusia cenderung menghindari dengan demikian seseorang akan mentaati peraturan karena ditilang berasosiasi dengan pain.
Pleasure towards atau mengejar kenikmatan contohnya jika seseorang bisa makan enak, dibandingkan dengan makan makanan yang tidak enak maka manusia cenderung memilih makan makanan yang enak. Jika bangun pagi dan masuk lebih pagi ke sekolah akan mendapatkan uang saku tambahan dari orangtuanya, maka anak-anak akan lebih bersemangat bangun dan masuk pagi ke sekolah. Dan seterusnya.
Jadi kesimpulannya : yang tidak nyaman dihindari, dan yang enak-enak akan dikejar. Itu adalah normalnya manusia. Dengan demikian, jika kita ingin efektif dalam hidup, apa yang harusnya kita lakukan? Segala sesuatu yang penting dan harus dilakukan kita asosiasikan dengan pleasure, segala sesuatu yang buruk dan harus dihindari kita asosiasikan dengan pain. Ini kuncinya! Jadi suatu tindakan akan dilakukan dengan penuh motivasi apabila berkolerasi dengan pleasure, dan sekaligus berasoasiasi dengan penghindaran dari pain ..

PR sebagai Kesalahan Pemrograman Pikiran
Banyak dari kita secara tidak sadar memprogram anak-anak kita sendiri secara salah. Yakni mengasosiasikan pekerjaan yang harusnya dilakukan sebagai sebuah penderitaan. Akhirnya si anak malas melakukan pekerjaannya.
Misalkan dalam konteks PR sekolah, seorang guru memberikan PR tentunya bertujuan baik, yakni agar si anak berlatih di rumah. Agar anak tidak hanya mengandalkan pada apa yang didapat di sekolah namun aktivitas di rumah merupakan pengulangan agar lebih ingat dan masuk memori anak.
Sekali lagi, jadi tujuan atau niat seorang guru memberikan PR adalah baik. Yang kita bahas di sini adalah apakah PR yang bertujuan baik lantas secara otomatis akan membuat si anak lebih termotivasi? Harus dicatat disini bahwa persoalan niat naik guru dan persoalan motivasi anak adalah 2 hal yang berbeda. Apabila Guru dalam memberikan PR caranya cerdik, maka dia akan membuat si murid dengan senang hati mengerjakan PR-nya sehingga tujuan memberikan PR akan tercapai. Anehnya cukup banyak cara seorang guru memberikan PR justru menghasilkan anak yang menjadi tidak termotivasi belajar lagi. Artikel ini bukanlah bentuk sinisme kepada dunia pendidikan, namun justru untuk membantu para pembaca, salah satunya guru dalam memberikan PR.
Kesalahan-kesalahan pemrograman pikiran yang dilakukan guru saat memberikan PR:
  1. PR sering diperlakukan sebagai hukuman. Jika seorang anak yang oleh karena suatu hal “dianggap pantas dihukum”, maka ia akan diberikan PR sebagai hukuman. Misalkan seorang anak terlambat masuk kelas, atau saat di kelas ribut terus, atau saat ditanya tidak bisa menjawab, maka dia akan diberikan hukuman berbentuk PR yang banyak. Jadi tanpa disadari seorang Guru, ia sudah menempatkan PR sebagai hukuman sudah memprogram di pikiran muridnya suatu formula “PR = Hukuman”.
  2. Nah, mari kita bahas, di kepala kita dan anak-anak tentunya sama, bahwa hukuman adalah suatu hal yang harus dihindari dan bukan suatu hal untuk dikejar. Lalu apa hasilnya jika guru menjadikan PR sebagai suatu hukuman? Di dalam pikiran si anak, PR merupakan hal yang tidak menyenangkan karena PR berasosiasi dengan hukuman. Ingatlah bahwa orang akan mengerjakan sesuatu yang disenangi, dan akan menghindari apabila dia tidak senang. Jadi jelas disini bahwa seorang guru yang memberikan PR sebagai hukuman hanya akan membuat sebuah PR berasosiasi dengan penderitaan dan orang akan menghindari penderitaan apabila terus menerus di kelas terkondisikan berulang-ulang bahwa “bersalah” dihukum dengan PR maka PR akan berasosiasi dengan penderitaan. Inilah maksud Anthony Robbins dengan kata conditioning (dikondisikan), sesuatu yang dikondisikan terus menerus akan terasosiasi di dalam sistim syaraf/pikiran (Neuro Association Conditioning).
  3. Beberapa guru sepertinya sangat senang dan cenderung memberikan PR yang sulit-sulit. Jauh lebih sulit dari contoh-contoh yang diberikannya pada waktu di kelas. Mungkin tujuannya adalah agar anak berlatih hal yang sulit, namun sayang, tujuan dan niat baik ini jarang sekali tercapai.
    Secara prinsip asosiasi, PR akhirnya berasosiasi dengan sesuatu yang menyulitkan. Dan jelas bahwa sulit adalah penderitaan. Nah, apabila seorang anak dalam mengerjakan PR selalu merasa sulit, kerena berbeda dengan apa yang dikerjakan di kelas, berbeda dalam arti level problematikanya sangat tidak berimbang, maka si anak akan berpikir bahwa mengerjakan PR adalah sebuah penderitaan.
  4. Ada juga kecenderungan di sekolah, seorang anak sering pulang dengan jumlah PR yang terlalu banyak. Anak SD biasanya di sekolah dari jam 8 sampai jam 12 siang, sehingga ada 4 sampai 5 mata pelajaran sehari. Wah, terkadang setiap pelajaran memberikan PR masing-masing, ditambah lagi PR-nya banyak dan sulit. Woooow, maka dapat dibayangkan bahwa seorang anak akan lebih menderita lagi dalam berasosiasi dan menanggapi seuatu PR. Akhirnya PR betul-betul berasosiasi sangat kuat sebagai sebuah penderitaan.
  5. PR yang sulit dan jumlahnya banyak akhirnya membuat anak menjadi tidak bisa bermain di rumah. Padahal kodrat seorang anak adalah bermain, ingat anak bukan mahluk dewasa. Nah kali ini adanya PR akhirnya dilihat anak sebagai sesuatu yang menghindarkannya / menjauhkannya dari suatu kesenangan. Hal ini akan menjadi kontra produktif, karena normalnya orang akan mengejar kesenangan, bukan menjauhkannya. Sementara si anak melihat PR menjauhkannya dari kesenangan dan memberinya kesulitan.
  6. Puncaknya, seorang Ibu / Bapak akan cenderung kasihan saat melihat anaknya mengalami kesulitan dalam mengerjakan PR-nya. Biasanya sih yang saya amati lebih banyak Ibu yang membantu mengerjakan PR anaknya dari pada seorang Bapak.
    Lucunya ketika membantu membuat PR anaknya umumnya si Ibu akan menggerutu dan mengeluh di depan anaknya. Mungkin mengeluh karena waktu Ibu menjadi terganggu, atau mengeluh karena gurunya kok tega memberi PR banyak dan sulit atau mengeluh karena ia sendiri juga tidak bisa menjawabnya. Akhirnya tidak hanya mengeluh, mungkin jadi mengomel karena si Ibu akhirnya nambah punya PR sendiri, PR memasak, PR menyapu dan lainnya karena waktunya ‘terganggu’ membantu menyelesaikan PR anaknya. Nah, kali ini yang memprogram pikiran si anak bukan lagi Guru di sekolah, namun orang tuanya sendiri. Si anak dengan jelas melihat orang tuanya mengomel dengan mudah bisa tahu bahwa : orang yang mengomel artinya tidak menyukai pekerjaannya.
    Jadi mengomel saat menemani, membantu mengerjakan PR berarti PR memang sesuatu yang memberatkan.
Jadi komplit sudah, 5 hal yang secara paralel menguatkan dan meng-konfirmasi bahwa PR adalah sesuatu untuk dihindari karena PR = penderitaan. Sedangkan tidak mengerjakan PR adalah hal yang sangat menyenangkan karena bisa bermain bebas.
                                                                                       

Jadi PR harus bagaimana?
Wah, jadi rumit sekarang. Lalu apakah guru harus membuat PR yang mudah?
  1. Alangkah bijaksananya jika PR ditempatkan sebagai bagian dari perulangan artinya mengulangi apa yang ada disekolah. PR perlu dibuat semirip mungkin tapi dengan angka atau ilustrasi yang agak berbeda sehingga si anak familiar, dan yang penting ia melakukan perulangan belajar. Mengulang (kondisioning) dalam konteks NLP akan membentuk suatu pattern atau pola.
  2. Akan lebih bagus jika PR di-design secara lebih menyenangkan. Misalkan anak boleh memilih sendiri contoh dan soalnya, bahkan boleh membuat sendiri soal PR-nya dan dikerjakan sendiri. Pasti jadi asyik.
  3. Beberapa anak yang pintar disekolah mungkin merasa tidak tertantang apabila soal di PR sama persis dengan soal di kelas. Jadi yang dimaksudkan mirip disini adalah memiliki kesamaan dalam konteks level abstraksi bukan berupa soal yang sama persis isinya.
  4. PR juga perlu diberikan reward. Beberapa guru lupa membagikan kembali pada murid, kertas PR yang sudah dikumpulkan kepadanya. Membagikan hasil penilaian PR akan memberikan reward pada murid. Usahakan memuji baik secara tertulis maupun secara lisan. Sesekali boleh dong memberi hadiah bagi murid yang selalu PR nya tepat dan benar.
  5. Jelaskan bahwa soal-soal yang diberikan sebagai PR akan berkaitan dengan ujian akhir/semester. Saat membuat soal ujian, beberapa dibuat dengan berdasarkan pada PR yang pernah diberikan. Jadi bagi anak yang terbiasa mengerjakan PR akan merasa lebih mudah saat mengerjakan ujian. Perasaan lebih mudah adalah perasaan yang menyenangkan. Jadi anak akan terpacu karena tahu bahwa mengerjakan PR akan memubuatnya lebih mudah saat ujian nanti.

Dengan demikian, secara sadar kita sedang melakukan pemrograman pikiran pada anak dengan cara yang baik :
Mengerjakan PR      =   kesenangan.
Tidak mengerjakan PR  = kesengsaraan.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua, amien!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar